Tuesday, December 02, 2008

HAVE FUN GO WET!


Ternyata, segala sesuatu yang spontan kadang jauh lebih menyenangkan daripada sesuatu yang sudah terencana dari jauh hari. Hal itu baru gue alamin hari ini. Sekitar satu bulan yang lalu gue merencanakan untuk jalan-jalan di akhir bulan November bareng teman-teman kantor. Dari yang ke pulau seribu, tanjung lesung, sampai ke pulau umang segala. Namun entah kenapa, mungkin karena plan-nya kejauhan dan terlalu banyak iterfensi dari banyak kepala, ujung-ujungnya semua plan itu buyar. Dan akhirnya, tujuan malah berubah total. Kami berencana untuk berenang di Waterboon Cikarang yang katanya diskon kalau pake debet Mandiri.

Besoknya, pas kumpul… guess what?! Yang jalan cuma tiga gelintir manusia termasuk gue, tanpa debet Mandiri. But the show must go on, right? ApalagI gue emang lagi sangat-sangat membutuhkan refreshing, ga peduli kemanapun kita pergi. Finally, kami memutuskan untuk ke Ancol. Cikarang kejauhan pula, dan kebetulan gua punya kartu kredit BNI yang bisa buat diskon masuk wahana-wahana di Ancol (ini bukan promosi kartu kredit loh.. hehe…). Dari yang tadinya mau berenang di Waterboom, jadilah kami berenang di Atlantis.

Seru juga ternyata berenang di Atlantis. Ada beberapa kolam disana, dari kolam anak-anak sampai kolam orang dewasa yang dalamnya sampai 3 meter. Buat yang belum bisa berenang hati-hati deh… kalau keasyikan bisa nyasar ke kolam yang dalem. Kalau mau mengetes adrenalin sedikit, bisa coba seluncuran pakai ban. Lumayanlah, teriak-teriak didalam seluncuran berkelok-kelok kayak yang ada di film-film petualangan. Kalau mau santai, masuk aja ke kolam arus. Tidur-tiduran di atas ban, membiarkan arus membawa kita mengitari kolam. Ngantuk… serasa lagi berjemur di pinggir pantai. Mau pijet? Ada sebuah kolam yang dilengkapi air terjun buatan. Berdiri saja dibawah guyuran air terjun, enak banget rasanya kayak ada yang mijat.

Tapi agak mengecewakan karena fasilitas penyimpanan barangnya ribet. Mereka menyediakan loker penyimpanan dengan sistem koin. Jadi kita harus membeli koin seharga Rp 5.000,- jika ingin mengunci loker tersebut. Tapi loker itu hanya bisa dibuka satu kali, jadi kalau mau dikunci lagi harus beli koin baru untuk menguncinya. Jadi pastikan semua urusan dengan barang-barang kita sudah beres, baru kita kunci lokernya. Kami saja terpaksa berkali-kali beli koin karena kurang persiapan. Atau kalau ada yang bisa gantian jaga barang, lebih baik nggak usah repot-repot menyimpan barang di loker.

Setelah kami puas berenang dan selesai bersih-bersih, turun hujan yang deras banget. Saat itu kami kelaparan berat. Sayangnya semua tempat makan di kawasan Atlantis nggak ada yang aman dari hujan. Jadi kami cari makan diluar. Kami mengarahkan mobil ke arah pantai dan ketemulah dengan Planet Baso. Pas banget lagi hujan-hujan gini, abis berenang, makan yang panas-panas. Hmmmm…

Usai makan, pas hujan berhenti. Kami berjalan-jalan di pinggir pantai yang sayangnya kotor. Tapi sore itu langit indah banget. Karena habis diguyur hujan, langit tampak bersih. Matahari sudah mulai berwarna jingga, cahayanya bersembunyi di balik awan yang juga berubah warna menjadi jingga. Di salah satu sudut langit tampak pelangi. Jadi ingat pepatah ”there’s a rainbow after the rain”. It was sooo… beautiful. Biarpun nggak jadi ke pulau seribu atau pulau umang, ternyata menikmati sunset di ancol juga keren. Puas rasanya.


(Jakarta, 29 Nov 2008)

Sunday, March 23, 2008

ALL BY MY SELF


Gue adalah tipe orang yang lebih suka melakukan sesuatu bersama sahabat atau orang-orang yang dekat, termasuk untuk travelling. Tapi, di bulan Februari kemarin gue mencoba iseng melakukan perjalanan seorang diri. Sebetulnya kalau waktu itu ada yang mau menemani, gue pasti bakal menerima dengan senang hati. Tapi kebetulan memang nggak ada, dan akhirnya terpaksa pergi sendiri. Tujuan perjalanan gue nggak jauh, dan bukan ke tempat yang asing buat gue. Gue cuma pergi ke tempat kakak di Solo.

Kalau pergi sendiri, gue merasa lebih nyaman naik kereta. Why? Karena gue merasa kalau perjalanan darat menggunakan kereta lebih nyaman daripada naik bis. Naik bis bisa membuat gue mabok, belum lagi kekhawatiran gue selama melewati jalan yang berkelok-kelok dan berpapas-papasan dengan bis-bis atau truk-truk yang menyeramkan. Perjalanan seorang diri memang akan terasa menyenangkan kalau menggunakan fasilitas yang membuat nyaman. Makanya sebetulnya gue sangat-sangat kepingin naik kereta eksekutif. Tapi sayang, karena waktu itu pas hari kejepit, bisa dikatakan long weekend, tarif tiket kereta eksekutif melonjak tinggi, bahkan bisa sampai dua kali lipat harga normal. So, terpaksa menunda keinginan naik kereta eksekutif dan memilih kelas bisnis.

Perjalanan dimulai. Bekal perjalanan gue adalah: HP yang sudah dilengkapi MP3 player jadi bisa dengar musik favorit sepanjang perjalanan, novel Ayat-ayat Cinta yang baru kali ini mulai gue baca, sebotol aqua, sekantong roti sobek, dan permen Frozz (biar nafas agak-agak segar walau nggak gosok gigi semalaman), plus uang (pastinya). Jadi begitu kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun Jatinegara, gue langsung menjejali telinga gue dengan ear phone, sambil melihat pemandangan diluar jendela yang sebetulnya gelap karena waktu itu sudah malam.

Gue bukan tipe orang yang suka ngobrol dengan orang asing, apalagi dalam sebuah perjalanan. Itu sebabnya gue lebih suka jalan dengan orang-orang yang gue kenal baik. Alhasil, kalau melakukan perjalanan sendiri gue lebih suka membenamkan diri dengan kesibukan pribadi. Baca, dengar musik, tidur, makan cemilan, atau larut dalam pikiran-pikiran sendiri. Perjalanan jadi terasa lama, jadi gue prefer untuk lebih banyak tidur.

Tapi, betapa menyebalkannya fasilitas umum di Indonesia ya? Lagi enak-enak tidur, tiba-tiba gue mendengar teriakan-teriakan orang yang berjualan di atas kereta. Ada yang jual kopi, nasi pecel, popmie, bahkan oleh-oleh khas daerah dimana kereta sedang berhenti. Beginilah keadaan setiap kali kereta berhenti di stasiun besar seperti Cirebon atau Purwokerto. Sebetulnya, hal-hal semacam ini mengganggu kenyamanan para penumpang kereta. Tapi apa mau dikata? Ini adalah sumber penghasilan para pedagang itu, jadi mau nggak mau harus maklum. Lagipula kehadiran mereka ada manfaatnya juga, kalau lapar tinggal beli makanan yang mereka jajakan, seperti gue yang akhirnya beli popmie dari mereka, saking laparnya. Karena konon katanya, biasanya, makanan dari restorasi kereta nggak enak.

Ini adalah sebuah perjalanan yang membuat gue kepingin secepatnya sampai tujuan. Itu sebabnya, gue merasa amat sangat senang waktu kereta senja utama yang gue naiki ini, di pagi itu akhirnya memasuki stasiun solo balapan. Thank God.. Alhamdulillaah... nggak sabar mau cepat-cepat sampai di rumah kakak gue untuk tidur!

Traveling by my self... if I had a choice, prefer not!

THE SKY OF JAKARTA


Satu hal yang membuat gue senang bekerja di gedung perkantoran yang tinggi di Jakarta adalah... gue bisa memandang langit Jakarta dari jendela kantor. It's sooo... beautiful. Salah satu pemandangan Jakarta yang gue abadikan lewat kamera HP gue adalah foto ini, foto mendung menggantung di langit Jakarta.

Friday, February 22, 2008

EVERYBODY’S CHANGING


Kata Keane emang bener. Everybody’s Changing. Semua sahabat gue berubah. Sebetulnya bukan diri mereka yang berubah, tapi apa yang ada di sekeliling mereka berubah. Some of them find a new job, some of them got married, some of them planned to get married. Secara pribadi gue nggak tau apakah kehidupan baru mereka adalah kehidupan yang mereka impikan atau justru sebaliknya. At least they’re changed. Mereka nggak jalan di tempat, mereka baru saja melakukan pengambilan keputusan atas pilihan hidup. Are you going to be the same person for this five years, or try to be someone better? Then…, I follow their path. I create my own choice and choose one of them. I choose to change, hopefully, these change can makes me become a better one. Gue memilih untuk menutup aurat.

Mungkin untuk beberapa orang, kelihatannya ini bukan sebuah pilihan yang berat. Cuma sekedar mengganti cara berpakaian aja kok. Tapi seandainya ini adalah satu hal yang mudah, kenapa banyak perempuan muslim yang belum ‘bisa’ pakai jilbab? Kenapa butuh waktu selama ini untuk gue memutuskan melakukan satu hal yang memang udah diwajibkan oleh ajaran agama gue? Nope, it’s not that simple honey. It’s hard to do.

Buat sahabat-sahabat gue yang udah lebih dulu dapat hidayah, gue salut banget sama mereka. Sedangkan untuk sahabat-sahabat gue yang belum, saran gue sih.. just follow your heart. Sebaiknya, jangan melakukan ini karena desakan orang lain, tapi bener-bener pure dari dorongan hati. Ini sama seperti memilih pasangan hidup. Sebuah keputusan yang akan berlaku untuk seumur hidup. Mau nggak mau nggak bisa mundur di tengah jalan. Sebesar apapun godaannya.

Fiuhhh… susah ya? Yup! Itulah yang harus gue hadapi sekarang. Semoga gue bisa kuat. Dan semoga… gue bener-bener bisa jadi orang yang lebih baik, bukan cuma dari segi penampilan, tapi yang lebih penting adalah… hati.

Sunday, September 02, 2007

UJUNG GENTENG, paradise on the edge of Java Island





Sewaktu saya dan teman-teman merencanakan untuk traveling ke Ujung Genteng, saya belum tahu banyak tentang tempat itu. Lalu kami browsing untuk mencari tahu apa saja objek wisata yang menarik di Ujung Genteng. Saya dan teman-teman sempat terpana melihat keindahan pantai dan curug yang kami lihat di foto di internet, lalu kami putuskan untuk positif pergi ke sana.

Tanggal 17 Agustus 2007, pagi-pagi kami berangkat menggunakan kendaraan minibus yang disediakan oleh paket wisata. Karena kepergian kami bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan, kami sempat terjebak macet di beberapa tempat. Perjalanan terasa sangat panjang. Kami melewati jalanan gunung yang berliku-liku dan ada beberapa bagian jalan yang rusak. Namun kami tetap menikmati perjalanan ini karena di sisi kanan-kiri kami terhampar pemandangan yang indah. Kami melewati hamparan kebun karet, pepohonan kering meranggas, kebun teh yang bertingkat-tingkat, dan juga sempat melihat Pelabuhan Ratu dari kejauhan, dengan laut dan ombak berdebur yang sangat indah.

Perjalanan Jakarta – Ujung Genteng memakan waktu sekitar enam jam. Kami tiba sekitar pukul dua siang di Curug Cikaso. Sebelum ke penginapan, jadwal kami adalah berwisata ke Curug Cikaso yang terkenal. Untuk sampai ke Curug Cikaso, kami harus naik perahu motor milik warga dan menyusuri sungai yang airnya berwarna kehijauan. Setibanya di lokasi, kami turun dari perahu lalu melewati jalan setapak diantara hutan yang kurang terawat. Namun dibalik hutan tersebut ternyata kami menemukan keindahan yang luar biasa, yaitu Curug Cikaso yang tinggi menjulang di hadapan kami, dengan lumut hijau yang menghiasi tebingnya. Ternyata foto-foto yang kami lihat di internet tidak berbohong. Curug ini memang indah, tapi sayang, karena saat itu musim kemarau, airnya sedang kering.

Dari Curug Cikaso, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan yang terletak berhadapan dengan pantai karang. Setelah berbenah sebentar, kami menyusuri pantai karang di depan penginapan untuk menunggu sunset. Di pantai karang ini, saya bisa menemukan bermacam jenis binatang laut yang unik dan berwarna-warni. Bisa saja binatang itu tiba-tiba muncul di kaki saya karena memang karang-karang yang kami lewati ternyata merupakan tempat persembunyian binatang-binatang itu. Ombak yang berdebur di pantai karang membuat kami enggan beranjak dari situ.

Warna langit yang mulai berubah menjadi jingga menandakan matahari akan mulai terbenam. Saya menyiapkan kembali kamera digital saya, tak mau melewatkan keindahan sunset di pantai itu. Matahari pun mulai turun, cahaya jingganya memantul di permukaan air laut. Orang-orang yang berdiri di pinggir pantai hanya tampak seperti siluet. Saya senang sekali karena berhasil mengabadikan momen seperti ini.

Malam harinya, setelah menikmati makan malam yang lezat, kami ke pantai pengumbahan, yaitu pantai tempat penyu bertelur. Jalan menuju pantai pengumbahan hanya bisa dilalui dengan motor, maka kami menyewa ojek untuk sampai ke tempat itu. Perjalanan kami di malam itu menjadi sebuah petualangan baru bagi saya. Karena jalan yang kami lewati berpasir dan berbatu-batu, saya seperti sedang ikut reli motor. Kanan-kiri saya gelap gulita, hanya ada cahaya yang berasal dari lampu motor. Sekilas saya bisa melihat pantai dalam kegelapan, hanya tampak buih-buih ombaknya yang berwarna putih.

Kami pun sampai di pantai pengumbahan. Disini kami membutuhkan senter untuk berjalan dari tempat penangkaran menuju pantai. Tapi setibanya di pantai, kami tidak boleh menyalakan sedikitpun cahaya, karena penyu yang akan bertelur, akan langsung kembali ke laut jika melihat ada cahaya. Penyu membutuhkan tempat yang gelap pulita untuk bertelur, bahkan langit yang terlalu terang pun akan mengganggu mereka.

Untuk bisa melihat penyu bertelur, kami harus bersabar menunggu sampai penyu muncul dari laut dan berjalan ke pantai untuk mencari tempat bertelur. Kami duduk di pinggir pantai, sambil memandang langit yang penuh bintang dan bulan sabit yang lama-kelamaan menghilang dari pandangan. Ombak yang berdebur menghantam pantai menimbulkan bunyi yang sangat keras, membuat saya jadi agak merinding. Mungkin karena gelap, saya jadi berpikir macam-macam. Tapi setelah dua jam menunggu dan tak ada satupun penyu yang muncul, kami memutuskan untuk pulang ke penginapan.

Pagi harinya, kami akan melihat matahari terbit di pantai cagar alam. Saya hampir saja tidak ikut karena kecapekan. Tapi setelah dipikir lagi, selama ini saya belum pernah melihat matahari terbit, saya juga jarang sekali berolah raga, jadi akhirnya saya putuskan untuk ikut. Untuk tiba di sana kamipun naik mobil. Kami melewati tempat pelelangan ikan yang bau amis. Tapi saya merasa sangat takjub ketika tiba di pantai yang dimaksud. Pantainya berbeda dengan pantai karang di depan penginapan. Pantai cagar alam adalah pantai landai berpasir, dengan ombak yang sangat dekat dengan kami. Langit berwarna biru kemerahan, namun matahari belum muncul dari balik awan. Selain rombongan kami, saya melihat banyak pengunjung lain yang sedang sibuk memasang kamera mereka yang dilengkapi tripod. Sepertinya mereka dari klub fotografi. No wonder mengapa mereka memilih tempat ini sebagai lokasi.

Matahari pun mulai muncul dengan warna kuningnya yang menyilaukan. Semua sibuk mengabadikan momen ini. Saya pun berhasil mengambil gambar yang indah, ketika matahari sudah benar-benar berbentuk bulatan kuning, dengan deburan ombak menyambutnya.

Kami merasa enggan sekali untuk beranjak dari pantai, tapi tur harus dilanjutkan menuju hutan cagar alam. Lokasinya tidak jauh dari pantai tempat kami melihat sunrise. Di hutan itu terdapat sebuah bangunan milik TNI AU, sebagai menara pengawas perairan tanah air kita agar tidak dimasuki oleh kapal-kapal asing. Disini kami banyak menemukan pohon tanpa daun, kering hanya tinggal dahannya saja. Kami juga menemukan kembali sebuah pantai karang yang sunyi dan tenang.


Dari hutan cagar alam, kami pun kembali ke penginapan untuk sarapan. Setelah itu kami akan diantar ke Pantai Cipanarikan dengan ojek. Sekitar pukul setengah delapan pagi kami pun berangkat. Perjalanan ke Pantai Cipanarikan sama seperti perjalanan kami ke Pantai Pengumbahan untuk melihat penyu, bedanya, kali ini kami bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Lokasinya sekitar satu kilometer lebih jauh dari tempat penangkaran penyu. Dan ternyata medan yang kami lalui lebih berat dari semalam karena kami benar-benar harus melewati hutan yang penuh dengan semak belukar.

Saya melihat di sebelah kanan saya terbentang sungai yang luas kehijauan, namun saya belum melihat tanda-tanda ada sebuah pantai. Jalanan yang kami lalui mulai berbukit, lalu motor berhenti di pinggir sungai. Tukang ojek saya mengatakan bahwa motor tidak bisa dibawa lebih jauh, kami harus berjalan kaki untuk menaiki bukit pasir di depan kami. Maka saya pun berjalan kaki mendaki bukit sampai akhirnya saya menemukan sebuah pemandangan yang mengejutkan.


Pantai Cipanarikan, atau yang dijuluki pantai hawai, terbentang di depan mata saya. Saya tidak bisa banyak berkata saking takjubnya. Saya belum pernah melihat pantai seindah ini. Lautnya berwarna biru, dengan hamparan pasir putih, berhadapan dengan muara sungai yang kehijauan. Bersih… dan terlebih lagi, tak ada satupun pengunjung selain kami. Kami merasa seolah-olah pantai ini sudah menjadi milik kami, seperti private beach. Melepas kekaguman, saya pun berlari menuruni bukit pasir sambil berteriak, “KEREN BANGEEEEETTTTTT.....!”

Kami sibuk berfoto, bermain air, rasanya seperti tak mau pulang. Pasirnya begitu lembut di kaki kami. Airnya dingin dan sama sekali tidak lengket atau membuat gatal. Saya memandang ke laut dan melihat benar-benar tak ada batas antara kami. Saya sedang berhadapan dengan Samudera Indonesia. Saya merasa seperti sedang bermimpi, ternyata ada pemandangan seindah ini di balik hutan yang tadi kami lewati.

Kalau tukang ojek yang sekaligus adalah pemandu kami tidak memperingatkan kami untuk segera pulang, mungkin akan seharian kami berada disitu. Menjelang tengah hari, barulah kami beranjak pulang.

Sebelum menikmati makan siang di penginapan, kami sempat berjalan-jalan di sekeliling penginapan untuk melihat proses pembuatan gula dari nira/sari kelapa. Kami mencicip sedikit air nira yang terasa sangat menyegarkan. Kemudian kami menikmati kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon di depan penginapan. Setelah bermalas-malasan dibuai angin pantai, barulah kami mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta.

Sekitar jam satu siang, setelah menyantap makan siang kamipun kembali ke Jakarta. Meskipun terasa berat, kami harus rela meninggalkan tempat yang penuh dengan kejutan ini. Kami pulang dengan membingkai kenangan tentang keindahan Ujung Genteng di benak kami masing-masing. Maybe…, someday we will be back!